1. Apa yang dimaksud dengan kode etik
dakwah?
o Kode etik dakwah adalah sejumlah
prinsip etika islam dalam berdakwah yang mengharuskan seorang da’i melakukan
tindakan-tindakan terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku tercela. Adapun
dalil-dalil yang mengharuskan adanya etika dalam berdakwah ini akan disebutkan
pada jawaban pertanyaan selanjutnya.
2.
Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip etika dakwah tersebut!
a.
“Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan”
Seorang
da’i hendaknya tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, karena keduanya
merupakan kunci keberhasilan dakwah yang disampaikan, dalam artian apa saja
yang diperintahkan kepada mad’u harus pula dikerjakan dan apa saja yang
dicegah harus ditinggalkan. Hal ini
bersumber dari firman Allah dalam QS. al-Shaff (2-3);
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا
تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (2) Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan (3).
b.
“Tidak melakukan toleransi dalam hal aqidah”
Dalam
masalah prinsip keyakinan (aqidah), Islam memberikan garis tegas untuk tidak
bertoleransi, kompromi dsb. Seperti yang tergambar dalam QS. al-Kafirun (1-6);
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah: "Hai
orang-orang kafir (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah (5) Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (6).
c.
“Tidak boleh memaksa mad’u untuk percaya”
Allah
memberikan kemerdekaan penuh bagi manusia untuk percaya atau tidak terhadap
ajaran Nabi Muhammad saw. Sikap pemaksaan bukanlah prinsip ajaran Islam. Hal
ini juga dikarenakan manusia telah dibekali akal untuk berfikir sehingga tidak
perlu untuk dipaksa. Kode etik ini didasarkan pada QS. al-Kahfi (29);
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ
وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ
بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي
الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29)
Dan katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu
neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek (29).
Di dalam QS. Yunus (99)
juga disebutkan;
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ
جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99)
Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya? (99)
d.
“Tidak menghina sesembahan non-muslim”
Tindakan
mencaci atau menghina sangatlah tidak etis dan akan menghancurkan kesucian
dakwah. Pada hakikatnya seorang da’i
harus menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang aman dan bukan dengan cara
menyebarkan kejelekan terhadap umat lain. Kode etik ini didasarkan pada QS.
al-An’am (108);
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ
عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ (108)
Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan (108).
e.
Tidak melakukan diskriminasi sosial
Dalam
dakwah tidak ada istilah class society (perbedaan golongan) yang ada hanyalah
istilah classless society (masyarakat tanpa kelas/ tanpa perbedaan golongan)
yang tidak ada perbedaan didalamnya antara golongan elit dengan non-elit yang
mengandung prinsip equal end justice (kesetaraan dan keadilan). Kode etik ini
didasarkan pada QS. ‘Abasa (1-2);
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2)
Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling (1) karena telah datang seorang buta kepadanya (2).
f.
“Tidak berteman dengan pelaku maksiat”
Ketika
seorang da’i berteman baik dengan pelaku maksiat sedangkan ia tidak pernah
memperingatkannya, maka pelaku maksiat tersebut akan beranggapan bahwa
seakan-akan perbuatan maksiatnya tidak dilarang oleh syari’at agama dan
menjadikan integritas da’i tersebut berkurang. Kode etik ini didasarkan pada
QS. al-Maidah (78);
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى
لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ (78)
Telah dila'nati
orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam.
Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas (78).
g.
Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui
Penyampaian
pesan dakwah harus sesuai dengan taraf kemampuan pribadi, tidak memaksakan
sesuatu yang berada diuar kemampuan atau kesanggupannya. Rambu etik ini
didasarkan pada QS. al-Isra’ (36);
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (36)
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.
3.
Sebutkan sifat-sifat cerdas yang harus dimiliki oleh seorang da’i!
o
Sifat-sifat tersebut meliputi:
a.
Seorang da’i haruslah pandai dalam arti memiliki pandangan yang luas dalam
merespon dan menangani peristiwa-peristiwa yang terjadi pada ummat.
b.
Memiliki pandangan, firasat, sikap terhadap setiap urusan atau
permasalahan.
c.
Da’i harus mampu menangkap hal-hal yang tersembunyi dibalik peristiwa.
d.
Mampu mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi.
4.
Mengapa dibutuhkan sikap intelektual yang tinggi dalam berdakwah?
o Hal tersebut dikarenakan:
a.
Dalam berdakwah terkadang diperlukan sebuah ijtihad demi menghadapi
persoalan yang berkembang. Untuk itu, seorang da’i haruslah mencurahkan seluruh
potensi, pikiran, perasaan dan waktunya.
b.
Dakwah membutuhkan usaha ilmiah (ilmu) yang menyangkut teknik dan strategi.
Karena Allah telah mengingatkan orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan
kebenaran dan menjaga diri dari kejahatan, sebagaimana yang disebutkan dalam
QS.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي
الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ (122)
Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
c.
Amar ma’ruf nahi munkar tidak mungkin
terlaksana tanpa andil teknologi seiring perkembangan peradaban manusia.
5.
Mengapa kita perlu menggunakan kode etik dalam berdakwah?
o
Dalam berdakwah dibutuhkan beberapa etika yang menjadi prinsip-prinsip bagi
juru dakwah agar dapat menghasilkan
dakwah yang bersifat responsif. Apabila prinsi-prinsip tersebut diaplikasikan
dengan sungguh-sungguh akan berpengaruh baik bagi mad’u maupun bagi da’i itu
sendiri. Diantara hikmah dalam pengaplikasian etika dakwah tersebut adalah:
a. Kemajuan ruhani, dimana bagi seorang
juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu etis Islam, maka secara
otomatis ia akan memiliki akhlak yang mulia.
b. Sebagai pendorong dan motivasi bagi
sang da’i dalam membentuk pribadi yang dapat dicontoh oleh mad’u.
c. Membawa pada kesempurnaan iman. Iman
yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan diri. Rasulullah saw menegaskan
dalam sabdanya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang
terbaik akhlaknya (etikanya).” (HR. al-Tirmidzi)
d. Kerukunan antar ummat beragama,
untuk membina keharmonisan secara ekstern dan intern pada diri sang da’i.
e. Pada mad’u akan meperoleh simpati
atau respon yang baik karena dengan menggunakan etika dakwah yang benar akan
menggambarkan bahwa islam adalah agama yang cinta damai.
6.
Agar tujuan dakwah tercapai, bagaimanakah seharusnya dakwah Islam itu
dilaksanakan?
o
Dalam mencapai tujuan dakwah
dibutuhkan integritas penuh antara da’i dan mad’u dan jika salah satu dari
kedua pihak tersebut merusak integritas ini dengan tujuan mencari keuntungan
bukan dengan jalan yang haq, maka sama saja dengan merusak harapan tercapainya
tujuan dakwah. Dakwah Islam harus dijalankan dengann penuh keseriusan, melalui
aturan-aturan yang benar sehingga diterima dengan komitmen yang sama terhadap
kebenaran Islam. Mad’u harus merasa bebas dari paksaan, ancaman serta
nilai-nilai yang bersifat merusak yang cenderung mengarah pada perbuatan anarki
dan mau menang sendiri. Dakwah Islam tidak bersifat melontarkan isu-isu
fanatis, provokatif, celaan-celaan yang menimbulkan permusuhan dan bukan pula
aktivitas-aktivitas yang bersifat destruktif. Oleh karena itu, dakwah Islam
mengkhususkan penggunaannya secara persuasif. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl (125);
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)
Sesungguhnya Kami menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang
mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang
sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri,
dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka
(125).
7.
Apa yang menjasi karakteristik dari etika dakwah?
o
Yang menjadi karakteristik dari etika dakwah adalah karakteristik dari
etika Islam dalam berdakwah itu sendiri, yang diantara cakupannya adalah
Al-Qur’an, Sunnah, akal dan naluri sebagai sumber moral dalam berdakwah,
standar yang digunakan untuk menentukan baik-buruknya tingkah laku sang da’i.
Disebutkan dalam QS. al-Ahzab (21);
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21)
Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah (21).
8.
Jelaskan mengenai ‘Al-Qur’an dan
Sunnah’ sebagai sumber moral?
o Sebagai pedoman hidup dalam Islam,
Al-Qur’an dan Sunnah juga merupakan sumber moral yang menjelaskan kriteria
baik-buruknya suatu perbuatan. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan
sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup yang diantaranya
adalah menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk dalam menjalankan
aktivitas dakwah. Al-Qur’an sendiri pada dasarnya merupakan dakwah yang terkuat
bagi pengembangan Islam, karena di dalamnya mencakup cerita ummat terdahulu,
sari’at-syari’atnya serta hukum-hukumnya.
9.
Jelaskan mengenai ‘Akal dan
Naluri’ sebagai sumber dakwah?
o Selain kedua sumber tersebut (Al-Qur’an dan Sunnah), akal dan naluri juga dipandang sebagai sumber
dalam menentukan baik dan buruk dalam etika dakwah. Islam memandang bahwa akal
dan naluri sebagai berikut:
a.
Akal dan naluri adalah anugerah
Allah swt.
b.
Akal dan pikiran manusia itu
terbatas sehingga tidak akan mampu memecahkan seluruh permasalahan yang ada.
Hanya akal yang dipancari cahaya pengetahuan dari Allah lah yang mampu memecahkannya.
c.
Naluri merupakan hasil pengarahan
dari petunjuk Allah swt.
10.
Jelaskan apa yang menjadi
motivasi dalm berdakwah?
o Dalam melakukan tugas dakwah dibutuhkan motivasi atau pendorong yang akan menunjang aktivitas dakwah. Dalam hal
ini aqidah dan keimanan yang mantap menjadi motivasi tersebut. Iman itulah yang
mendorong seorang da’i untuk berbuat ikhlas, berlaku shalih, bekerja keras dan
rela berkorban. Iman yang sempurna merupakan manifestasi dari kecintaan dan
ketaatan kepada Allah swt.
“Sekali-kali
tidaklah seorang mukmin akan merasa kenyang (puas) mengerjakan kebaikan,
menjelang puncaknya masuk surga.” (HR. Tirmidzi)
No comments:
Post a Comment